.jpg)
Pendidikan merupakan gerbang kemajuan suatu bangsa dan peradaban. Pendidikan yang berhasil dan maju sudah pasti dilakukan dengan proses dan metodologi yang baik lagi mapan.Tapi, mengamati model pendidikan kita dilapangan, seringkali dijumpai metode yang sering kali janggal, semacam adanya praktek kekerasan di dalamnya.
Melaksanakan Amanat Pendidikan
Sebagai pendidik (murabbi), seharusnya kita memiliki tanggung jawab bagaimana kita mendidik anak-anak kita sebagai orang yang bertaqwa, berilmu serta berakhlak yang baik. Sasaran yang dijadikan obyek pendidikan ada tiga hal: tarbiyah ruhiyah (kejiwaan), tarbiyah ’aqliyah (pemikiran), tarbiyah jismitah (kesehatan jasmani). Kemudian pendidikan itu memiliki input dan output. Dalam input terdapat bermacam-macam background dan prilaku yang heterogen. Dalam proses inilah berlaku suatu pendidikan: bagaimana yang inputnya jelek outputnya menjadi baik, yang bodoh jadi pinter, yang nakal menjadi sholih. Dalam proses inilah diperlukan metode pendidikan. Rasullah SWA sendiri banyak menggunakan berbagai macam metode dalam mendidik, ada persuasif edukatif dan shock therapy.
Persuasif melaluhi pendekatan lisan, secara personal, yang dilakukan oleh rosulullah SWA. Ada sahabat yang rajin beribadah tapi tak begitu tekun sholat malamnya, lalu rosulluh melakukan pendekatan, ”seandainya kamu melengkapi dengan sholat malam, tentu akan lebih baik”. Seperti itulah pendekatan persuasif Rasulullah SWA, jadi lebaih pada personal approach.
Metode edukatif adalah pendidikan atau ta’lim Rasullah SWA yang dilakukan dengan mengajarkan hadist, berikut prilaku yang baik.
Sedangkan shock therapy berarti Rasulluh SWA memberikan tindakan-tindakan terhadap pelanggaran dan prilaku yang menyebabkan rusak atau gagalnya pendidikan. Shock therapy ini dilakukan Rasulluh SWA dengan cara-cara yang manusiawi, mendidik dan tidak sampai merugikan obyek didik.
Berhasilnya Pendidikan Masa Lalu
Ulam terdahulu sangat berhasil menjalankan pendidikan karena mengacu pada pendidikan yang diajarkan oleh Rasulluh SWA, tentunya dengan melakukan adaptasi di daerah-daerah masing-masing. Seperti contoh bagaimana paera sahabat mengajarkan pada at-tabi’in dan seterusnya. Dalam hadist misalnya, bagaimana perhatian mereka pada faktor akurasi periwayatan, ittshal as-sannah (kesinambungan mata rantai), disamping juga memperhatikan faktor-faktor kejiwaan. Karena pada zaman Rasulluh SWA tidak semua sahabat jadi perawi hadist, karena ada diantara mereka yang belum siap itu. Tapi Rasulluh SWA mempersiapkan beberapa diantara mereka yang secara kejiawaan sudah siap menerima hadist-hadist beliau..
Dalam konteks ini oendidikan dimasa lalu mampu membaca kemampuan santri dan kecenderungan-kecenderungan kejiwaan mereka secara tepat. Sehingga dapat mengarahkan pada sasaran yang tepat pula. Tentu semua itu berakhir pada pencapaian utama, yakni sebagai hamba Allah yang yang ’alim dan muttaqin.
Tidak Berhasilnya Pendidikan Masa Kini
Pendidikan yang terjadi sekarang ini jauh dari apa yang kita harapkan bersama dan hampir mengalami kegagalan. Ada beberapa faktor yang melatar belakanginya diantaranya:
Pertama, faktor gairah kaum muslimin utuk mengkaji islam. Kedua, faktor ajaran islam itu sendiri banyak yang terkontaminasi. Sekarang ini niat belajar agam disekolah-sekolah semakin minim, karena dianggap kurang menjanjikan secara materi, sehingga mereka lebih mengejar hal-hal yang sifatnya praktis. Selain itu kontaminasi ajaran agama banyak terjadi dimasyarakat, utamanya oleh faham liberal, sehingga apa yang dipelajari oleh masyarakat kemudian tidak sesuai dengan konteks yang diajarkan oleh as-salaf as-sholih. Disamping juga ada yang ekstrim, sehingga pendidikan islam menjadi mundur.
Sempitnya pemahaman ilimu agama juga berperan penting di sini. Anggapan umum yang muncul saat ini adalah bahwa pelajaran agama itu hanya fikih, tafsir al-qur’an dan hadist saj, sedangkan ilmu-ilmu eksak bukan bagian dari ilmu agama. Ini adalah anggapan yang tidak tepat, sebab ulama-ulama masa lalu menggabungkan antara kedua organ ilmu pengetahuan yang dianngap berbeda itu: ilmu agama dan umum, karena semua bagian dari agama. Metode pengajarab lebih penting daripada isi pelajaran, sampai ada ungkapan at-thoriqotu ahammu min al-madah, metode itu lebih penting daripada materi peajaran itu sendiri. Banyak orang yang mengerti tapi tak bisa memberikan pengertian pada orang lain, ada orang alim tapi tak bisa memberikan ilmunya kepada orang lain. Disini perlu diadakan kajian suatu metode yang dipakai oleh para guru-guru agar apa yang disampaikan itu sesuai dan menegna.
Banyak lompatan metode-metode seperti sekarang ini daintaranya: quantum teaching, quantum learning dan sebagainya. Ini sebenarnya hanya modifikasi, dengan menggunakan kemasan baru. Itu baik-baik saja. Sama seperti ESQ dan semacamnya. Apa yang ada metode-metode seperti itu, berupa konsentrasi penuh pemusatan pemikiran dan pengosongan jiwa, itu sudah lama sekali menjadi kajian ulama islam imam al-ghozali, Cuma metode dan caranya saja yang baru. Ini problem buat pondok pesantren. Sebetulnya materi-materi itu kita sudah punya, Cuma pengemasannya dengan baik dan ditawarkan kemasyarakat.
Metode shock Therapi Kadang Diperlukan
Tindakan kekerasan ini adalah istilah yang mengesankan tindak kriminal. Ungkapan itu memang kurang pas, kekarasan itu memiliki delik hukum sendiri yang disitu ada klausal-klusal yang bisa menjerat pelakunya. Dalam pendidikan tidak seperti itu, itu adalah [roses pendidikan kita mengawali dengan nasehat, peringatan dan ta’zir. Ta’zir itu bermacam-macam sampai pada tingkatan harus dipukul, tapu bukan dalam rangka melakukan tindakan kekerasan, karena memang ada tuntutan ke sana. Al-ahmaq la yakfi bi al-isyarah, orang yang bodoh tidak cukup didik dengan menggunakan isyarat. Tipe anak-anak bermacam-macam, ada dengan dipendelii (dipelototi) sudah tidak bergurau, ada yang masih harus dijewer dan segala macam. Rasullulah SAW pernah memukul sahabat dalam rangka pendidikan. Jadi, sepanjang hal itu tidak menyakiti, dan guru melakukannya tidak atas dasr benci atau dendam, tapi dalam konteks mendidik, itu sebenarnya tidak apa-apa, disamping itu murid juga begitu. Mereka harus yakin bahwa guru adalah figur pendidik yang bisa mengarahkan. Ibarat seorang dokter ketika posisi kita sebagai pasien. Jangan sampai ada anggapan ketika dokter memberi suntikan, atau melakukan bedah, bahwa itu adalah kekerasan. Dari sini, jika memang ada tuntutan harus memukul memang tidak apa-apa, sepanjang itu dalam batas-batas wajar, dilakukan dengan ikhlas, niat mendidik dan menghilangkan sifat jelek yang ada pada anak didik.
Fenomena guru yang melakukan hukuman terhadap siswanya lalu berakhir dipenjara dengan melaporkannya ke pihak berwajib, sungguh ironis sekali, mengapa !
Karena seorang murid kurang hormat kepada guru, dan seorang guiru kurang ikhlas dalam mendidik muridnya. Jadi kita harus memperbaiki kedua-duanya. Jika guru mengajarnya dengan ikhlas sementara muridnya belajar dengan sungguh-sungguh, maka diperlakukan lebih dari itupun tidak masalah. Dalam konteks ilmu syaida Ali Karamallahu wahjha menatakan ”Ana ’abdu man ’allamani harfan wahida” (aku adalah hamba orang yang mengajariku satu huruf) terserah dia, apa aku aku akan dijual atau dimerdekakan. Ini sebuah pernyataan murid kepada guru. Begitu juga guru, ia harus menegakkan ”nawaitu at-ta’lim li i la’i kalimatillah” (saya niat mengajar karena menjunjung tinggi agama Allah). Menegenao kasus dia atas kita tidak bisa mengklaim mana yang salah dan mana yang benar, memang dua oknum tadi belum clear. Belum ada pada jalurnya yang benar.
Kita harus mulai dari gurunya, tapi tentu muridnya harus kita gaeap. Makanya, sekarang dibeberapa sekolah umum mulai diajarkan budi pekerti. Kita tahu kekeringan ilmu itu, akibat keringnya agama. Itulah yang menyebabkan tidak adanya pemehaman akan posisi dan fungsi masing-masing. Jadi dianggapnya murid itu dianggap prioyek biosnis saja. Begitu seorang murid menganggap sekolah adalah perusahaan harus diperhatikan dan dikritisi. Jika tidak sesuai, maka bisa dituntut. Hubungan antara guru dan murud dalam sistem semacam ini sudah sangat tipis. Tidak ada tauqir al-ilmi (menghormati ilmu) dan tauqir al-ustadz (menghormati guru). Orientasinya pada perjamnya beberapa dan urusan materi belaka. Jadi, kalau kita memulai ia harus dimulai dari guru. Katanya kalau guru kencing berdiri murid kencing berlari, nantinya contoh dan teladannya dari guru itu lambat laun akan dipelajari oleh murid-murid.
Selasa, 09 Oktober 2007
Mendidik dengan lembut
Diposting oleh Saiful Arif jam 09.33
Langganan:
Posting Komentar (Atom)













0 komentar:
Posting Komentar